‘Rujuk’ Cantik Jokowi-Prabowo
AKHIRNYA yang ditunggu-tunggu seluruh rakyat Indonesia di minggu-minggu terakhir terwujud: dua kontestan peserta Pilpres 2014 bertemu setelah sekian lama sejak hari-hari debat. Salah satunya sudah terpilih sebagai Presiden, dan yang lainnya kita tahu, meskipun tidak terpilih namun memiliki bargaining yang sangat kuat.
Secara
faktual, Prabowo hanya kalah tidak sampai 5 persen dibanding perolehan suara
Jokowi, di sisi lain bahkan perolehan suara Koalisi Merah Putih di parlemen
jauh meninggalkan kalkulasi kuantitatif perolehan koalisi Indonesia Hebat.
Jabatan pimpinan DPR-MPR pun disapu bersih. Ini mengakibatkan dinamika politik
sejak sebelum Pemilu hingga sebelum pertemuan Jokowi-Prabowo menyulut tensi
tinggi, ditambah media massa yag seolah mendapat durian runtuh untuk memblow-up
segala berita sekaitan rivalitas Jokowi-Prabowo.
Kita
tentu masih belum lupa, pasca KPU menetapkan kemenangan Jokowi, kubu Prabowo
praktis menggunakan seluruh hak politiknya untuk menggugat hasil konstitusional
tersebut melalui MK. Tak pelak, suhu politik di segala dimensi masih saja
memanas. Rakyat di akar rumput dan menengah (via media sosial) seperti dikipas
terus oleh kontestasi dan kompetisi antara kedua kubu. Konsekuensinya, rakyat
tak bisa dipungkiri terbelah secara politik, psikologis, dan sosiologis.
Kondisi
sebelum Jokowi-Prabowo bertemu, seolah-olah negeri ini selalu ribut, bising
Setiap kita membuka siaran televisi nasional maka berita utamanya pasti tentang
itu melulu. Di TVOne dan MetroTV kebisingan itu menjadi-jadi. Kita bisa melihat
betapa kedua media secara terus menerus seolah menegaskan keberpihakannya
kepada kubu tertentu. Di media cetak dan beberapa media on-line pun sami
mawon.
Kita
tentu saja wajar untuk cemas, jika kondisi tersebut berlarut-larut, maka
imbasnya akan seperti efek domino. Instabilitas politik akan berdampak pada
instabilitas ekonomi, dan sosial, bahkan budaya. Risiko terbesarnya adalah
chaos secara nasional. Kita tidak bisa pula menutup mata, ada dorongan-dorongan
yang potensial tidak terkontrol manakala di akar rumput rakyat masih saja
emosional merespon berita miring yang menghujat tokoh idolanya.
Ini bisa
menyebabkan kita semua ‘macet’ menjalani aktivitas sehari-hari. Kita menjadi
sulit untuk move on, padahal kehidupan harus berlanjut, semua orang
butuh hiburan dan relaksasi, jauh dari keseriusan dan apalagi kebuntuan politik
yang menjemukan. The show must go on, bahasa kerennya.
Sekali lagi,
pertemuan Jokowi-Prabowo telah banyak memberikan efek positif kepada khalayak.
Siapapun dia, apapun suku dan pilihan politiknya, bahkan agamanya, saya yakin
seyakin-yakinnya sangat beryukur di dalam hatinya menonton berita atau membaca
di koran tentang pertemuan yang akrab dan jauh dari kesan dipaksakan itu.
Kita bisa
melihat nada bicara Prabowo dan Jokowi sangat bersahabat, rileks dan jauh dari
rekayasa di saat konferensi pers spontan di halaman rumah orang tua Prabowo
tersebut. Pertemuan itu seolah mematahkan propaganda dari banyak media yang
masing-masing pro pada salah satu kubu. Lebih jauh, pertemuan itu menurunkan
kekuatiran kita pada isu-isu tak jelas dan tak sedap tentang hari pelantikan
presiden 20 Oktober nanti.
Kini, mari
kita sambut pemerintahan baru. Oposisi, kompetisi, dan trik politik sah-sah
saja, malah merupakan hak dan kewajiban manakala niatnya adalah demi tetap
mengkontrol roda pemerintahan agar tetap di track yang diinginkan
masyarakat. Tetaplah sadar, Pemilu hanya secuil mekanisme politik yang rutin
dilalui, pascapemilu kita mestinya bersatu, nasionalisme dikedepankan,
sektarianisme dikubur.
Ke depan, kita
masih berharap agar Prabowo dan kawan-kawan seiringnya mampu secara dewasa
mengejawantahkan posisinya sebagai negarawan yang menyejukkan, jauh dari kesan
sangar apalagi kekanak-kanakan.
Kita juga
berharap Jokowi tetap dengan kerendah-hatiannya dan jiwa akomodatifnya mampu
menampung segala aspirasi dan kritik secara elegan. Memang tidak akan pernah
mencapai derajat sempurna, namun setidaknya kita harus terus dorong para
pemimpin dan negarawan kita untuk mau melangkah ke dalam fase-fase dinamika
(komunikasi) politik yang mencerahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar